Prasasti Pabanolan memang menjadi salah satu bukti penting bahwa Kerajaan Majapahit masih berdiri pada tahun 1463 Saka, atau sekitar 1541 Masehi. Prasasti ini menyebutkan lokasi penulisannya, yaitu di sebuah tempat suci yang disebut San Hyan Baturpajaran di Wilwatikta (nama lain untuk Majapahit). Ungkapan ini, “telas sinurat ri san hyan baturpajaran ri wilwatikta,” memperkuat adanya aktivitas keagamaan atau administratif di wilayah suci Majapahit pada waktu tersebut.
Keberadaan Prasasti Pabanolan memberikan indikasi bahwa meskipun Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada abad ke-15, pengaruh dan kekuasaannya masih tetap ada hingga pertengahan abad ke-16. Hal ini juga menunjukkan bahwa Majapahit masih memiliki pusat-pusat suci dan pemerintahan yang berfungsi, mungkin dengan skala yang lebih kecil, di wilayah yang dikenal sebagai Wilwatikta.
Setelah masa Hayam Wuruk, Majapahit memang mengalami kemunduran tajam yang diperparah oleh konflik internal. Perang Paregreg, misalnya, menjadi salah satu konflik saudara yang melemahkan struktur kerajaan secara signifikan, memperburuk kondisi politik dan stabilitas ekonomi. Ketika tentara dari Keling menyerbu ibu kota pada tahun 1478, Majapahit kemungkinan sudah berada di ambang keruntuhan, baik secara militer maupun administratif. Serangan itu semakin mempercepat hilangnya kontrol Majapahit atas wilayah-wilayahnya dan meninggalkan Trowulan—yang disebut sebagai “Wilwatikta” dalam prasasti—sebagai wilayah yang hanya dihuni oleh sisa-sisa kebesaran masa lalu, bukan sebagai pusat kerajaan yang aktif.
Pada pertengahan abad ke-16, sebutan “Wilwatikta” dalam prasasti mungkin merujuk pada situs keramat atau simbolik di bekas ibu kota Majapahit, yang masih dikenang dan dihormati, tetapi tidak lagi memiliki peran politik signifikan.
Memang, dalam ramalan Jayabaya, era akhir Majapahit masuk ke dalam fase Kaliyuga yang dikenal sebagai Kaliwisaya atau jaman penuh fitnah, sebuah masa yang digambarkan penuh kekacauan, perpecahan, dan kejatuhan nilai-nilai moral. Kaliwisaya ini dimulai dengan peristiwa “Sirna Ilang Kertaning Bhumi” sengkalan atau kronogram yang berarti tahun 1400 Saka (1478 M), saat Majapahit disebutkan mengalami kehancuran akibat serangan dari pasukan luar. Setelah itu, masyarakat Nusantara dilanda konflik yang terus menerus, baik secara internal maupun eksternal.
Kaliwisaya sendiri terbagi menjadi tiga zaman: Paeka, Ambondan, dan Aningkal. Periode ini mencakup waktu yang panjang, dari runtuhnya Majapahit hingga datangnya berbagai kekuatan kolonial, mulai dari Portugis, Spanyol, hingga Belanda. Selama periode ini, Nusantara mengalami banyak perang saudara, konflik antar kerajaan, serta tekanan dari kekuatan kolonial yang membawa berbagai fitnah, perpecahan, dan eksploitasi terhadap sumber daya dan manusia Nusantara.
Ramalan Jayabaya ini dapat dilihat sebagai cara untuk menggambarkan realitas pahit yang dihadapi masyarakat pada masa itu, di mana keutuhan dan kemakmuran Majapahit yang dahulu pernah mengakar di Nusantara seakan sirna, digantikan oleh era yang penuh dengan intrik, konflik, dan kekuasaan asing.
Banjir bandang dari muara Sungai Brantas di awal abad ke-15 M memang bisa menjadi penyebab utama melemahnya sendi-sendi ekonomi kota-kota besar yang bergantung pada aliran sungai tersebut. Banjir besar ini diperkirakan membawa lumpur, bebatuan, dan kayu besar yang menghancurkan infrastruktur, merusak lahan pertanian, dan menghancurkan perniagaan sepanjang aliran sungai. Dampak bencana ini kemungkinan besar juga mengurangi akses perdagangan dan suplai pangan, sehingga mempercepat penurunan ekonomi wilayah tersebut, termasuk kota-kota besar yang sebelumnya berperan penting sebagai pusat dagang di bawah hegemoni Majapahit.
Kerusakan yang diakibatkan oleh bencana alam ini kemungkinan turut melemahkan daya tahan Majapahit, yang saat itu juga sudah menghadapi masalah internal dan eksternal lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Isikan.... bebas berpendapat sesuai pengetahuan anda dan bisa dipertanggung jawabkan ....