STASIUN GONDANGLEGI tahun 1918

Hilangnya Trem 
kebijakan di bidang transportasi 
yang kurang berpihak pada angkutan massal berbasis rel


Saat ini, Kota Malang mulai merasakan dampak kemacetan yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi roda dua maupun roda empat yang melampaui masa ketika trem masih beroperasi. Pada pagi dan sore hari saat jam berangkat dan pulang kerja, serta pada hari libur, kemacetan sangat terasa di beberapa titik di Kota Malang, seperti perempatan Blimbing, Embong Brantas, dan Jalan Semeru.

Melihat fakta sejarah bahwa pembangunan jaringan trem telah dilakukan sebelum kelahiran Kota Malang pada tahun 1914, tampaknya kota ini awalnya dirancang sebagai kota dengan sistem angkutan massal berbasis rel. Oleh karena itu, penghapusan trem dan pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi tanpa pengendalian telah memicu kemacetan parah yang bisa diprediksi sejak saat ini.

Namun, satu masalah penting lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah terlantarinya aset-aset milik PT Kereta Api Indonesia Persero setelah penonaktifan trem di Malang. Menurut Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1959, Maskapai Trem Malang merupakan perusahaan milik Belanda yang telah dinasionalisasi, dan aset-asetnya kini menjadi milik PT Kereta Api Indonesia Persero. Ironisnya, banyak dari aset berharga ini tidak terurus, termasuk tanah di sepanjang jalur trem Malang yang memiliki nilai hingga lebih dari Rp 1,5 juta per meter persegi. Belum lagi, bangunan-bangunan seperti stasiun, gudang, dan rumah dinas yang memiliki nilai komersial juga dibiarkan terbengkalai.





0 komentar:

Posting Komentar

Isikan.... bebas berpendapat sesuai pengetahuan anda dan bisa dipertanggung jawabkan ....